Friday, April 6, 2012

LOVE STORY 1


***
Ini hari pertama aku memejamkan mata di rumah tempat aku dibesarkan selama 22 tahun, rumah yang kini sering aku tinggalkan karena kewajibanku untuk menuntut ilmu di kota metropolitan. Jakarta. skripsi dan sidang sudah terseleseikan,aku hanya tinggal menunggu wisuda nanti akhir tahun ini, Desember 2009. Aku memiliki waktu kurang lebih empat bulan untuk berlibur, dan aku memilih untuk sejenak pulang ke tempat kelahirnku dan menghabiskan liburanku sebelum ak wisuda dan memulai bersaing lagi untuk mendapatkan pekerjaan terbaik.
 Aku terbangun, membuka mataku dan melihat cahaya matahari  yang telah masuk kedalam jendela kamarku yang masih tertutup gorden warna merah muda, yang membuat pantulan warna nya begitu cantik. Aku sudah bisa membayangkan cerahnya hari ini diluar sana, seperti hatiku yang sedikit berwarna, mengingat Rangga datang kembali saat ia menyakitku entah sudah berapa kali. Namun aku masih percaya padanya, aku masih yakin akan cinta yang ia tawarkan kembali. Ya walaupun aku tau, aku hanya menjadi orang ketiga dalam hubungan dia dengan kekasihnya sekarang. Namun aku tidak perduli.
Aku mengangkat tubuhku, menyandarkan bahuku pada besi-besi penyanggah tempat tidurku dengan masih memeluk guling bersarung bunga-bunga merah muda itu. aku menyambar ponselku dengan harapan ada telefon masuk atau setidaknya sms masuk dari rangga dengan kata-kata selamat pagi, dan mengajakku keluar sore ini untuk sekedar makan atau apapun itu. karena aku tau Rangga pasti sudah tau bahwa telah berada di kota tempat aku dan dia bertemu, dulu.
 satu pesan terpangpang disana, dan benar dari Rangga. Aku membuka dengan penuh keyakinan dan harapan. Senyumku sedikit mengembang.
Isi dalam pesan singkatnya “maafin kakak de, kaka enggak bisa seperti ini terus. Seharusnya kaka lebih bisa bersyukur dengan apa yang sudah kaka miliki bukannya menjalani seperti ini, ini akan sakit untuknya. Maafin kaka de. Gak usah ganggu kaka lagi.”
Senyumku yang sedikit mengembang perlahan memudar, aku terdiam, bibirku bergetar, kepalaku terasa panas, dan mataku sudah merasakan kehadiran air bening yang seketika tumpah. tangisku pecah, mengisi keheningan yang ada di dalam kamarku.
Sebegitu hebatnya kah dia melakukan hal seperti ini padaku? aku tidak pernah sedikitpun mengganggunya, menggodanya. Dialah yang selalu datang, datang lagi padaku, dialah yang telah mengganggu hidupku, dia yang telah memberikan harapan semu padaku, berkata masih mencintaiku, berkata ia membutuhkanku. tidak merasakah dia bahwa kehadirannya hanya membuat luka baru untuku? dan semua manis yang ia katakan hanya sekedar sampah yang teruarai dari bibir dustanya.


Ini bukan kali pertama ia melakukan ini padaku, dia selalu menjatuhkan aku kembali setelah ia meninggikan aku. Entah apa maunya, mungkin membuatku menangis adalah sebuah kesenangan untuknya, dan mana mungkin selama ini aku masih saja bertahan untuk sesuatu yang tidak tentu, sesuatu yang semu, yang hanya ia berikan ketika ia mau, dan ia akan ambil kembali ketika ia merasa bersalah, bersalah karena telah menyakiti perasaan kekasihnya yang sekarang. Dia tidak secuil pun memikirkan perasaanku.
 Jatuhnya suatu keyakinan, runtuhnya suatu pengharapan, yang membuat (lagi) kekecewaan. Membuat lagi-lagi tangisku memuncak. Seperti air bah yang datang secara tiba-tiba menenggelamkan semuanya, ya semuanya. Dan aku yakin, semua yang telah tenggelam, tiba-tiba muncul kembali ke permukaan, ya, dia akan datang kembali padaku, hanya untuk meninggikan aku dan kemudian menjatuhkan kembali. Aku harap aku bisa menepis ketika itu datang, semoga aku dapat menolak pesonanya,  dan mengabaikan perasaanku. Semoga.
Aku ingat dulu, dulu sekali saat ia masih saja datang di bulan pertama ia meninggalkanku. Dulu, empat tahun yang lalu, dan lagi-lagi aku menangis mengingatnya

“tok, tok, tok,”
“bela, kamu kenapa nak?” suara ibuku ibu sontak membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku.
Aku menarik nafas dalam-dalam, Aku berjalan kearah pintu kamarku, dengan segera aku menghapus air mataku. Aku memegang erat gagang pintu kamar dengan tiga kali tarikan nafas, dan aku membuka pintu pada tarikan nafasku yang ketiga.
“enggak, bu. Ini bela lagi latihan akting buat nanti teater.” Dengan suaraku lantang, dan senyum yang merekah.
“latihan ko sampai sembab gitu matanya, gausah terlalu dipaksakan, latihan sewajarnya saja. Kan sayang jadi jelek tuh mukanya, ga cantik lagi.”
“iya dong bu, kalo pemain teater professional itu harus melakukan apapun agar dapat memberikan penampilan yang terbaik.” Sanggahku sembari berkacak pinggang.
“kamu ini ada-ada saja, yasudah kamu mandi terus sarapan. Ibu sudah buatkan nasi goreng.” Kata ibu sembari melengos pergi meninggalkan kamarku.
Aku menutup kamar, berbalik badan dan berdiri sejenak dan membuatku kembali pada wajah nanar, tidak lagi berpura-pura seperti yang dilakukanku di depan ibu tadi, di depan ibu.
 Aku berdiri di di depan cermin, melihat pantulannya yang begitu menyedihkan, pantulan wajah yang jelas tidak akan enak dilihat, mata yang sembab dengan pandangan yang kosong telah menghiasi wajah bulatku.
Mataku tertuju pada bingkai foto kecil di atas meja belajarku. itu adalah fotoku bersama rangga, aku ingat sekali kapan dan dimana foto itu diambil, dan fikiranku tiba2 melayang jauh. Jauh sekali.
Teringat saat itu, tujuh tahun yang lalu. saat aku dan dia masih bersama. Pada saat ia masih mencintaiku, masih menginginkanku. Saat dimana dunia hanyalah milik kita berdua. Saat dimana cinta baru datang menyapa dan hinggap di hati kita, yang membuat kita jatuh cinta, membuat kita selalu merasakan rindu. membuat segalanya indah.


No comments: